Jumat, 31 Oktober 2014

Cerpen: Sia Imam Tadi Malam oleh Jaya Nasa Perta



Allahuakbar allahuakbar . . . suara adzan magrib terdengar serasa bersambut-sambut dan bergema dari tempat mreka berada. mereka bisa mendengarkan lebih dari tujuh sumber suara adzan berkumandang. Namun diantara tujuh sumber panggilan suara adzan tersebut, satu sumber yang paling amat terdengar oleh mereka, yaitu bersumber dari Musala Nurul Iman, mushala di fakultasnya, mushala ini sudah berdiri semenjak setelah beberapa tahun fakultasnya dibangun, dan mushala ini juga sudah mengalami tujuh kali perbaikan, dalam pembangunannya yang bertahap. Meski sudah mengalami tujuh kali tahap perbaikan mushala ini tetap memgang nama Nurul Iman dan tidak pernah berganti. Di kampus reliqius yang berada di Ranah Minang ini, selain mempunyai satu masjid yang megah yang berada di dekat pintu gerbang utama kampus. Setiap fakultasnyapun juga mempunyai mushala masing-masing, tempat mahasiswa untuk menjalankan kegiatan ibadah ketika berada di kampus.
                                                                                                                                
Yaa, hampir seharian dari waktu pagi akan siang, siang menuju kepetangan dan bertemu malam, mereka berempat berada di kampus. Dari hari ke hari hanya itu saja yang mereka perbuat, bergabung dengan jurusan tetangga untuk ikut dalam sebuah kegiatan sanggar kegiatan mahasiswa yang ditawar oleh dosen, yaitu sanggar drama.
Bro (panggilan yang tren waktu itu), shalat lagi yuk, ajak Afif. Berhenti dari latihannya dan melihat ke teman-temannya.
Bentar lagilah bro, kita selesaikan dulu satu babak ini, tanggung bro, nanti kita shalat berjamaah aja ? “jawab Apan” yang sedang serius dengan latihan dramanya, peluh yang keluar di muka masing-masing nenetes bagai mata air dari langit-langit gua.
Afif mengalah dan mengikuti kata teman-temannya. Afif, seorang yang berkepribadian agamais diantara mereka berempat. Baginya menjalankan agama yang utuh adalah suatu keharusan yang tidak bisa dikatakan tidak. Dalam umur Afif yang menginjak 19 tahun, yang paling muda diantara mereka, namun Afif selalu ingin memberitahu hal yang benar kepada teman-temannya. Baginya menyampaikan yang benar adalah kewajiban dakwah semua manusia. Ke kampus stelan pakainnya juga menggambarkan ia adalah mahasiswa yang rapi, menggunakan celana dasar dan baju batik, yang menjadi kekhasannya setiap saat, jarang sekali ia menggunakan celana jeans atau baju kaos.
Seusai mengambil wudu’, imam shalat membacakan salam pertanda shalat berjamaah sudah selesai.
            Mereka berempat sudah membentuk baris satu syaf. Bisa kita mulai shalatnya “kata Yajo kepada Afif, bermaksud untuk memberi tahu agar Afif mengimami shalat mereka”
Yajo yang waktu itu berumur 20 tahun, dia percaya bahwa kesuksesannya menjadi seorang pemimpin terasa semakin dekat. Kepercayaan itulah yang membuatnya selalu optimis dalam mimpinya. Kepribadian sopan santunnya membuat ia disenangi banyak temannya. Baginya, Menjalani hidup dalam garis kepercayaan adalah keindahan yang tak ditemukan di luar sana. Menjaga hubungan baik dengan semasa merupakan hal yang selalu dikerjakannya. Baginya mempunyai satu musuh adalah malapetaka untuknya.
            Tiba-tiba ketika Afif ingin melangkah untuk mengimami shalat, Khairul menghentikan langkah Atan.
Tunggu bro, biar saya saja yang mengimami shalat kali ini, (dengan penuh keseriusan), dilihat dari umur, umur saya lebih tua dari kalian. “kata Khairul dengan seriusnya”
Okelah pak ustadt “canda Pandi”
Afif beriqamah, setelah itu Khairul takbir dengan suara tegap. “Allahuakbar”. Pada akan masuk rakaat kedua, datang seorang laki-laki yang kira-kira umurnya 28 tahun ikut dalam shalat berjamaah itu. Berarti Khairul mengimami empat orang jamaah.
Setelah sujud kedua pada rakaat kedua, yang seharusnya duduk tahyatul awal, namun Khairul khilaf. Setelah sujud itu, Khairul langusng takbir dan langsung berdiri. Konsentrasi shalat kamipun yang menjadi makmum menjadi buyar. Antara ragu dan percaya terhadap yang dilakukan Khairul. Rasanya ini sudah rakaan kedua, kenapa Khairul langsung berdiri, bukankah harus duduk tahyatul awal dulu. “ungkap Pandi dalam hati” sambil tetap duduk dalam posisi duduk tahyatul awal.
Mereka semuanya duduk tahyatul awal, namun beda halnya dengan imamnya si Khairul, masih tetap berdiri melanjutkan rakaat ketiga. Afif yang mengerti akan hal itu, mendekur beberapa kali, namun imam tak juga sadar akan kesalahannya. Karena tidak sadar juga Afif mengucapkan “Astaghfirullah” dengan suara agak keras agar imam tau kesalahannya. Atas suara peringatan itu, Khairul sadar dengan kesalahannya.
Astaghfirullah “ucapannya dengan logat kampungnya keluar”
Mendengar logat itu, Pandi, Afif dan Yajo tidak kuat lagi menahan gelak tawa rasanya ingin sekali shalat ini selesai dan ingin tertawa sepuas-puasnya, namun laki-laki yang berumur 28 tadi, tetap fokus dalam shalatnya. Shalatpun menjadi tidak fokus lagi, mereka saling melirik satu sama lain, melihat bagaimana ekspresi masing-masing menahan gelak tawa itu. Sampailah lirikan kami pada imam, ternyata dengan tertahan-tahan imam menyembunyikan gelak tawanya, terdengar dari suara takbirnya tak setegap awal shalat tadi, suaranya sudah bercampur dengan menahan rasa ketawa itu, karena Khairul juga tahu kalau kami makmum di belakang menahan ketawa, karena pada suatu titik lirikan itu saling bertemua, Si Imam sambil menahan gelak tawa itu, juga melirik makmumnya di belakang. Muncullah suara tertawa kecil yang muncul beberapa kali.
Ditengah menahan gelak tawa itulah, shalat berjamaah selesai juga, ditutup setelah dibacakan salam kedua oleh Khairul. Mereka tidak tahu apakah shalat berjamaah itu sah dan diterima oleh Tuhan atau tidak, karena jujur saja gelak tawa itu memang hal yang tidak sengaja terjadi. Namun, mereka tidak bisa berkonsentrasi lagi setelah mulai gelak tawa itu. Tidak ada maksud kami untuk mempermainkan ibadah. Namun setelah imam khilaf, dan keluar logat kampungnya saat membacakan Astaghfirullah, gelak tawa itu tidak terbendung lagi.  
Setelah salam, Khairul yang mungkin merasa amat bersalah sekali tanpa berdoa langung pergi menuju pintu mushala dan meninggalkan mushala. Ketika laki-laki tadi melanjutkan satu rakaat yang tertinggalnya itu, kami bertiga menyusul Khairul keluar. Namun dengan secepat kilat Khairul menyalakan motornya dan melaju meninggalkan gerbang fakultas dan Afif, Pandi, dan Yajo. Tidak ada rasa heran bagi kami ketika itu, melihat tingkah Khairul yang langsung pergi demikian, karena selepas keluar dari mushala, gelak tawa kami semakin menjadi, terlebih juga Afif, jujur dialah di luar mushala yang gelaknya yang paling kuat dan tidak tertahan-tahan.
Sesampainya di rumah, Yajo mandi dan mulai menjalankan aktivitas malamnya, makan membaca buku sastra dan belajar untuk kuliah besok pagi. Di sela-sela itu, untuk mengusir kebosanannya, yajo tidak bisa dipisahkan dengan smartphonenya, baginya itulah teman yang paling setia padanya. Semua bisa dicurahkan lewat smartphonenya itu, apa yang dirasakannya seharian tadi pasti dituliskannya di smartphonenya. Setelah dituliskannya, ia pasti mempostingkan tulisan itu di akun sosial medianya, mulai dari facebook, twiiter, whatshap, line, bbm, dan yang baru waktu itu adalah instagram, untuk memphostingkan gambar. Salah satu yang akan ditulisnya adalah “Sia imam tadi malam” kata-kata yang telah disepakatinya dengan Apan, dan Afif. Memang mereka sudah menyepakatinya menjelang pulang tadi. Kata-kata itu memeang ditunjukkan untuk Khairul, entah awalnya mereka ini adalah lelucon semata, menambah bahan gelak tawanya. Mereka sepakat ketika pukul sudah menunjukkan pukul 20.30 wib, semua akun sosmed kepunyaan mereka harus berisikan kata-kata itu. Teng, pukul menunjukkan 20.30 pas, Yajo, memphostingkan kata-kata itu, “Sia imam tadi malam” di semua akun miliknya. Tujuh menit setelah itu, Yajo tercengang dan matanya berbinang tidak lepas dari pandangannya terhadap sebuah pemberitahuan di bbmnya, ma. Ia Melihat pm (personal message) milik temannya sendiri, Khairul, semenit yang lalu Khairul membuat pm di bbmnya“maafkan aku ya Allah, mungkin aku harus banyak belajar”. Kata sederhana itu dituliskan oleh Khairul. Ternyata beberapa saat setelah itu Yoja mendapat sms dari Apan yang berisikan bahwa Apan juga tercengang melihat status di facebooknya Khairul dengan tulisan kata-kata yang sama. Yajo terheran-heran dengan kejadian ini, nampaknya sederhana, tapi ini baginya tidak lucu lagi. Awalnya mereka ingin menambah kelucuan semenjak setelah di mushala tadi. Tapi ini mulai serius baginya. Dilihatnya semua akun sosial media milik Khairul, selalu kata-kata yang sama tertulis di sana “Maafkan aku ya Allah, mungkin aku harus banyak belajar”.
Esooknya, kuliah jadwal pukul 07.00 wib. semuanya sudah masuk di kelas. Pagi itu kelas mereka belajar Sintaksis, mata kuliah yang membahas tentang satuan bahasa hubungan antarkata atau intrakalimat, Bu Emidar masuk dengan wajah senangnya. Naumun setelah beberapa jam kuliah berlangsung, mereka tidak melihat Khairul di kelas. Perkuliahan yang sedang berlangsung tidak lagi menjadi perhatian mereka bertiga. Mata mereka tidak melihat ke papan tulis di mana bu Emidar menerangkan materi di sana, tapi mata mereka sesekali melihat ke pintu kelas. Berharap Khairul datang. Namun sia-sia saja pengharapan mereka, tunggu ditunggu, yang ditunggu tidak kunjung datang sampai kuliah selesai.

Kuliah hari itu, Khairul tidak datang. Selesai kuliah pukul 15.40 wib, mereka bertiga pergi ke kosnya Khairul. Namun sampainya di sana Khairul tidak berada di kos. Dihubungi no hp, tidak diangkat sama sekali, sms juga tidak dibalas. Mereka panik atas apa yang telah terjadi dengan Khairul. Dalam anggapan mereka ini sangat di luar bayangan mereka. Awalnya meraka beranggapan, dengan menuliskan kata-kata “Sia imam tadi malam”, itu akan menjadi semakin lucu. Tapi tidak ternyata, ini di luar dugaan sebelumnya. Mereka putus kontak dengan Khairul, mereka tidak tahu di mana keberadaan Khairul. Hampir empat jam mereka menunggu di depan kos Khairul. Malangnya Khairul ngekos rumah sendirian, jadi meraka juga tidak tahu kepada siapa bertanya kemana Khairul, sampai akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk pulang.
Hari dan minggu kuliah selanjutnya, Khairul yang mereka harap masuk kuliah, namun pengharapan itu tidak nyata juga. Dengan waktu yang bersamaan mereka bertiga dikejutkan dengan sms yang diterimanya dari Khairul. Pesan sms berisikan “Terimakasih kawan, atas Sia imam tadi malamnya”, pesan singkat iru membuat mereka menangis tak tertahan-tahan, awalnya mereka ketawa yang tak tertahan-tahannya membaca kata “Sia imam tadi malam”, itu, sekarang menjadi sebaliknya. Mereka bertiga sangat merasa bersalah sekali, takut-takut Khairul akan nekad mengakhiri hidupnya.
Kini sudah masuk sebulan dari kejadian di malam itu. Kabar tentang Khairul tidak ada juga. Di kosannya, Khairul diketahui dari tetangga sudah pindah. Mereka bingung kepada siapa lagi mereka bertanya tentang bagaimana kabar Khairul.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar