Allahuakbar
allahuakbar . . . suara adzan magrib terdengar serasa bersambut-sambut dan bergema
dari tempat mreka berada. mereka bisa mendengarkan lebih dari tujuh sumber
suara adzan berkumandang. Namun diantara tujuh sumber panggilan suara adzan tersebut,
satu sumber yang paling amat terdengar oleh mereka, yaitu bersumber dari Musala
Nurul Iman, mushala di fakultasnya, mushala ini sudah berdiri semenjak setelah
beberapa tahun fakultasnya dibangun, dan mushala ini juga sudah mengalami tujuh
kali perbaikan, dalam pembangunannya yang bertahap. Meski sudah mengalami tujuh
kali tahap perbaikan mushala ini tetap memgang nama Nurul Iman dan tidak pernah
berganti. Di kampus reliqius yang berada di Ranah Minang ini, selain mempunyai
satu masjid yang megah yang berada di dekat pintu gerbang utama kampus. Setiap
fakultasnyapun juga mempunyai mushala masing-masing, tempat mahasiswa untuk
menjalankan kegiatan ibadah ketika berada di kampus.
Yaa,
hampir seharian dari waktu pagi akan siang, siang menuju kepetangan dan bertemu
malam, mereka berempat berada di kampus. Dari hari ke hari hanya itu saja yang
mereka perbuat, bergabung dengan jurusan tetangga untuk ikut dalam sebuah
kegiatan sanggar kegiatan mahasiswa yang ditawar oleh dosen, yaitu sanggar
drama.
Bro
(panggilan yang tren waktu itu), shalat lagi yuk, ajak Afif. Berhenti dari
latihannya dan melihat ke teman-temannya.
Bentar
lagilah bro, kita selesaikan dulu satu babak ini, tanggung bro, nanti kita shalat
berjamaah aja ? “jawab Apan” yang sedang serius dengan latihan dramanya, peluh
yang keluar di muka masing-masing nenetes bagai mata air dari langit-langit gua.
Afif
mengalah dan mengikuti kata teman-temannya. Afif, seorang yang berkepribadian
agamais diantara mereka berempat. Baginya menjalankan agama yang utuh adalah
suatu keharusan yang tidak bisa dikatakan tidak. Dalam umur Afif yang menginjak
19 tahun, yang paling muda diantara mereka, namun Afif selalu ingin memberitahu
hal yang benar kepada teman-temannya. Baginya menyampaikan yang benar adalah
kewajiban dakwah semua manusia. Ke kampus stelan pakainnya juga menggambarkan
ia adalah mahasiswa yang rapi, menggunakan celana dasar dan baju batik, yang
menjadi kekhasannya setiap saat, jarang sekali ia menggunakan celana jeans atau
baju kaos.
Seusai
mengambil wudu’, imam shalat membacakan salam pertanda shalat berjamaah sudah
selesai.
Mereka berempat sudah membentuk
baris satu syaf. Bisa kita mulai shalatnya “kata Yajo kepada Afif, bermaksud
untuk memberi tahu agar Afif mengimami shalat mereka”
Yajo
yang waktu itu berumur 20 tahun, dia percaya bahwa kesuksesannya menjadi
seorang pemimpin terasa semakin dekat. Kepercayaan itulah yang membuatnya
selalu optimis dalam mimpinya. Kepribadian sopan santunnya membuat ia disenangi
banyak temannya. Baginya, Menjalani hidup dalam garis kepercayaan adalah
keindahan yang tak ditemukan di luar sana. Menjaga hubungan baik dengan semasa
merupakan hal yang selalu dikerjakannya. Baginya mempunyai satu musuh adalah
malapetaka untuknya.
Tiba-tiba ketika Afif ingin
melangkah untuk mengimami shalat, Khairul menghentikan langkah Atan.
Tunggu
bro, biar saya saja yang mengimami shalat kali ini, (dengan penuh keseriusan),
dilihat dari umur, umur saya lebih tua dari kalian. “kata Khairul dengan
seriusnya”
Okelah
pak ustadt “canda Pandi”
Afif
beriqamah, setelah itu Khairul takbir dengan suara tegap. “Allahuakbar”. Pada
akan masuk rakaat kedua, datang seorang laki-laki yang kira-kira umurnya 28
tahun ikut dalam shalat berjamaah itu. Berarti Khairul mengimami empat orang
jamaah.
Setelah
sujud kedua pada rakaat kedua, yang seharusnya duduk tahyatul awal, namun
Khairul khilaf. Setelah sujud itu, Khairul langusng takbir dan langsung
berdiri. Konsentrasi shalat kamipun yang menjadi makmum menjadi buyar. Antara
ragu dan percaya terhadap yang dilakukan Khairul. Rasanya ini sudah rakaan
kedua, kenapa Khairul langsung berdiri, bukankah harus duduk tahyatul awal
dulu. “ungkap Pandi dalam hati” sambil tetap duduk dalam posisi duduk tahyatul
awal.
Mereka
semuanya duduk tahyatul awal, namun beda halnya dengan imamnya si Khairul,
masih tetap berdiri melanjutkan rakaat ketiga. Afif yang mengerti akan hal itu,
mendekur beberapa kali, namun imam tak juga sadar akan kesalahannya. Karena
tidak sadar juga Afif mengucapkan “Astaghfirullah” dengan suara agak keras agar
imam tau kesalahannya. Atas suara peringatan itu, Khairul sadar dengan
kesalahannya.
Astaghfirullah
“ucapannya dengan logat kampungnya keluar”
Mendengar
logat itu, Pandi, Afif dan Yajo tidak kuat lagi menahan gelak tawa rasanya ingin sekali shalat ini selesai dan ingin
tertawa sepuas-puasnya, namun laki-laki yang berumur 28 tadi, tetap fokus dalam
shalatnya. Shalatpun menjadi tidak fokus lagi, mereka saling melirik satu sama
lain, melihat bagaimana ekspresi masing-masing menahan gelak tawa itu. Sampailah
lirikan kami pada imam, ternyata dengan tertahan-tahan imam menyembunyikan gelak tawanya, terdengar dari suara
takbirnya tak setegap awal shalat tadi, suaranya sudah bercampur dengan menahan
rasa ketawa itu, karena Khairul juga tahu kalau kami makmum di belakang menahan
ketawa, karena pada suatu titik lirikan itu saling bertemua, Si Imam sambil
menahan gelak tawa itu, juga melirik makmumnya di belakang. Muncullah suara tertawa
kecil yang muncul beberapa kali.
Ditengah
menahan gelak tawa itulah, shalat
berjamaah selesai juga, ditutup setelah dibacakan salam kedua oleh Khairul.
Mereka tidak tahu apakah shalat berjamaah itu sah dan diterima oleh Tuhan atau
tidak, karena jujur saja gelak tawa
itu memang hal yang tidak sengaja terjadi. Namun, mereka tidak bisa
berkonsentrasi lagi setelah mulai gelak tawa itu. Tidak ada maksud kami untuk
mempermainkan ibadah. Namun setelah imam khilaf, dan keluar logat kampungnya saat
membacakan Astaghfirullah, gelak tawa itu tidak terbendung lagi.
Setelah
salam, Khairul yang mungkin merasa amat bersalah sekali tanpa berdoa langung
pergi menuju pintu mushala dan meninggalkan mushala. Ketika laki-laki tadi
melanjutkan satu rakaat yang tertinggalnya itu, kami bertiga menyusul Khairul
keluar. Namun dengan secepat kilat Khairul menyalakan motornya dan melaju
meninggalkan gerbang fakultas dan Afif, Pandi, dan Yajo. Tidak ada rasa heran
bagi kami ketika itu, melihat tingkah Khairul yang langsung pergi demikian,
karena selepas keluar dari mushala, gelak tawa kami semakin menjadi, terlebih
juga Afif, jujur dialah di luar mushala yang gelaknya yang paling kuat dan
tidak tertahan-tahan.
Sesampainya
di rumah, Yajo mandi dan mulai menjalankan aktivitas malamnya, makan membaca
buku sastra dan belajar untuk kuliah besok pagi. Di sela-sela itu, untuk
mengusir kebosanannya, yajo tidak bisa dipisahkan dengan smartphonenya, baginya
itulah teman yang paling setia padanya. Semua bisa dicurahkan lewat
smartphonenya itu, apa yang dirasakannya seharian tadi pasti dituliskannya di
smartphonenya. Setelah dituliskannya, ia pasti mempostingkan tulisan itu di
akun sosial medianya, mulai dari facebook, twiiter, whatshap, line, bbm, dan
yang baru waktu itu adalah instagram, untuk memphostingkan gambar. Salah satu
yang akan ditulisnya adalah “Sia imam tadi malam” kata-kata yang telah
disepakatinya dengan Apan, dan Afif. Memang mereka sudah menyepakatinya
menjelang pulang tadi. Kata-kata itu memeang ditunjukkan untuk Khairul, entah
awalnya mereka ini adalah lelucon semata, menambah bahan gelak tawanya. Mereka
sepakat ketika pukul sudah menunjukkan pukul 20.30 wib, semua akun sosmed
kepunyaan mereka harus berisikan kata-kata itu. Teng, pukul menunjukkan 20.30
pas, Yajo, memphostingkan kata-kata itu, “Sia imam tadi malam” di semua akun
miliknya. Tujuh menit setelah itu, Yajo tercengang dan matanya berbinang tidak
lepas dari pandangannya terhadap sebuah pemberitahuan di bbmnya, ma. Ia Melihat
pm (personal message) milik temannya sendiri, Khairul, semenit yang lalu
Khairul membuat pm di bbmnya“maafkan aku ya Allah, mungkin aku harus banyak
belajar”. Kata sederhana itu dituliskan oleh Khairul. Ternyata beberapa saat
setelah itu Yoja mendapat sms dari Apan yang berisikan bahwa Apan juga
tercengang melihat status di facebooknya Khairul dengan tulisan kata-kata yang
sama. Yajo terheran-heran dengan kejadian ini, nampaknya sederhana, tapi ini
baginya tidak lucu lagi. Awalnya mereka ingin menambah kelucuan semenjak
setelah di mushala tadi. Tapi ini mulai serius baginya. Dilihatnya semua akun
sosial media milik Khairul, selalu kata-kata yang sama tertulis di sana
“Maafkan aku ya Allah, mungkin aku harus banyak belajar”.
Esooknya,
kuliah jadwal pukul 07.00 wib. semuanya sudah masuk di kelas. Pagi itu kelas
mereka belajar Sintaksis, mata kuliah yang membahas tentang satuan bahasa
hubungan antarkata atau intrakalimat, Bu Emidar masuk dengan wajah senangnya.
Naumun setelah beberapa jam kuliah berlangsung, mereka tidak melihat Khairul di
kelas. Perkuliahan yang sedang berlangsung tidak lagi menjadi perhatian mereka
bertiga. Mata mereka tidak melihat ke papan tulis di mana bu Emidar menerangkan
materi di sana, tapi mata mereka sesekali melihat ke pintu kelas. Berharap
Khairul datang. Namun sia-sia saja pengharapan mereka, tunggu ditunggu, yang
ditunggu tidak kunjung datang sampai kuliah selesai.
Kuliah
hari itu, Khairul tidak datang. Selesai kuliah pukul 15.40 wib, mereka bertiga
pergi ke kosnya Khairul. Namun sampainya di sana Khairul tidak berada di kos.
Dihubungi no hp, tidak diangkat sama sekali, sms juga tidak dibalas. Mereka
panik atas apa yang telah terjadi dengan Khairul. Dalam anggapan mereka ini
sangat di luar bayangan mereka. Awalnya meraka beranggapan, dengan menuliskan
kata-kata “Sia imam tadi malam”, itu akan menjadi semakin lucu. Tapi tidak
ternyata, ini di luar dugaan sebelumnya. Mereka putus kontak dengan Khairul, mereka
tidak tahu di mana keberadaan Khairul. Hampir empat jam mereka menunggu di
depan kos Khairul. Malangnya Khairul ngekos rumah sendirian, jadi meraka juga
tidak tahu kepada siapa bertanya kemana Khairul, sampai akhirnya mereka bertiga
memutuskan untuk pulang.
Hari
dan minggu kuliah selanjutnya, Khairul yang mereka harap masuk kuliah, namun
pengharapan itu tidak nyata juga. Dengan waktu yang bersamaan mereka bertiga
dikejutkan dengan sms yang diterimanya dari Khairul. Pesan sms berisikan
“Terimakasih kawan, atas Sia imam tadi malamnya”, pesan singkat iru membuat
mereka menangis tak tertahan-tahan, awalnya mereka ketawa yang tak
tertahan-tahannya membaca kata “Sia imam tadi malam”, itu, sekarang menjadi
sebaliknya. Mereka bertiga sangat merasa bersalah sekali, takut-takut Khairul
akan nekad mengakhiri hidupnya.
Kini
sudah masuk sebulan dari kejadian di malam itu. Kabar tentang Khairul tidak ada
juga. Di kosannya, Khairul diketahui dari tetangga sudah pindah. Mereka bingung
kepada siapa lagi mereka bertanya tentang bagaimana kabar Khairul.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar