Perhatian
terhadap ilmu sastra di sekolah khususnya di Indonesia memang belum terlalu
diperhatikan. Hal ini terlihat dalam pembelajaran bahasa Indonesia di
sekolah, materi ilmu sastra sedikit
sekali dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran. Kemudian dalam prakteknya yang
sedikit itu, sangat sedikit sekali dibahas ilmu sastra oleh pendidiknya atau
guru. Sehingga siswa dalam pengetahuan serta wawasannya tentang ilmu
kesusasteraan sangat sedikit sekali. Secara sendirinya, tentu akibatnya minat
dan kemauan siswa dalam mempelajari serta membaca karya sastra sangat rendah
sekali.
Jika
kita lihat akar permasalahannya, hal ini akan mengaitkan banyak unsur. Dimulai
dari unsur pemeritah, tenaga pendidik atau guru, sarana dan prasarana,
masyarakat sekitar, dan siswa. Unsur-unsur di ataslah yang bertanggungjawab
dalam peningkatan wawasan ilmu kesusasteraan dan menumbuhkembangkan minat
membaca serta mempelajari karya-karya sastra. Dalam upaya peningkatannyapun
tidak ada salah satu unsur yang harus disalahkan, karena kesalahan dalam satu
unsur dikarenakan unsur yang lain tidak mendukung, secara garis besar ke lima
unsur tersebut memiliki hubungan yang sangat erat.
Jika
dilihat dari unsur pemerintah, pemerintah adalah lembaga yang berwenang dalam
penyediaan pembuatan kurikulum pembelajaran, pengadaan tenaga pendidik, dan
penyedian sarana dan prasarana yang menunjang. Oleh karena itu peran aktif dan
dukungan dari pihak pemerintah sangat membantu sekali dalam melahirkan generasi
penerus bangsa yang memilki wawasan ilmu kesusasteraan yang tinggi dan minat
baca tulis karya sastra yang hebat. Setidaknya ada bebarapa hal yang menjadi
tugas pemerintah dalam masalah ini. Pertama,
sedikitnya jam pelajaran ilmu kesusasteraan. Kedua, tenaga pendidik atau guru kurang berkompeten dalam
penguasaan ilmu kesusasteraan. Ketiga,
kurang tersedianya buku-buku ilmu kesusateraan dan kurangnya karya-karya
sastra, seperti novel, cerpen, drama, puisi, dan lain sebagainya.
Kemudian jika kita lihat dari unsur tenaga
pendidik atau guru, menurut PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2008 TENTANG
GURU, pasal 1 guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam PP No
74 tahun 2008 tentang guru tersebut, jelas sekali banhwa tugas seorang guru
sebagai tenaga pendidik tersebut sangat berat sekali. Banyaknya guru yang
kurang berkompeten dalam penguasaan materi pelajaran ilmu sastra, hal ini
dikarenakan kurangnya minat baca tulis guru dalam pelajaran ilmu sastra.
Sehingga akibatnya ketika gurunya mengalami kesulitan dalam penyampaian
pelajaran ilmu sastra. Jalan keluar yang diambil oleh seorang guru tersebut,
untuk menutupi kelemahannya itu guru mengajar ilmu sastra seadanya, dan tidak
dijelaskannya secara mendalam. Kalau kita lihat, banyak hal yang harus dipersiapkan
oleh seorang guru jika hendak memposisikan dirinya menjadi seorang guru yang
professional. Menurut Depdikbud (dalam Syahril, dkk. 2009, 17-18), mengatakan
ada tiga dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, (1)
kemampuan professional, meliputi penguasaan materi pelajaran, landasan dan
wawasan kependidikan dan keguruan, dan penguasan proses kependidikan, dan
pembelajaran siswa. (2) kemampuan sosial yaitu kemampuan menyesuaikan diri
dengan tuntutan kerja dan lingkungan sekitar. (3) kemampuan personala, yang
mencakup penampilan sikap yang positif sebagai seorang guru, pemahaman dan
penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dimilki oleh seorang guru, dan
penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para
siswanya. Dalam hal seorang guru untuk meningkatkan kualitas dan profesionalnya
dalam menyandang tugas dan beban sebagai seorang guru, guru harus aktif dalam
mencari informasi dalam menambah wawasan serta pengetahuannya potensialnya, banyak membaca dan belajar dalam mempertajam
bidang ilmu yang digelutinya. Kemudian harus sering mengikuti seminar, work
shop, tranning, pelatihan, dll menyangkut bidang ilmu yang digelutinya.
Selanjutnya adalah unsur sarana dan
prasarana, keberadaan sarasa dan prasarana merupakan sesuatu hal yang penting
dalam penunjang pendalaman pembelajaran ilmu sastra. Sarana dan prasarana
tersebut sebagai media pembelajaran sastra berupa buku-buku ilmiah yang
berhubungan dengan sastra, karya sastra seperti naskah drama, novel, cerpen,
puisi dan karya satra lainnya. Keberadaan media pembelajaran tersebut akan
mempermudah siswa dalam menumbuhkembangkan minat dan kecintaannya terhadap sastra.
Kemudian akan berdampak postif juga bagi guru dalam membelajarkan ilmu sastra
kepada siswanya di samping itu guru juga mudah memperdalam pengetahuan dan
wawasan ilmu sastranya dengan adanya media tersebut.
Keberadaan masyarakat sebagai unsur
yang terkait dalam rangka menumbuhkembangkan minat ilmu kesusasteraan bagi
siswa juga berperan aktif. Hal ini terlihat masyarakat adalah lingkungan sosial
siswa yang banyak menghabiskan waktunya sehari-hari. Setelah jam sekolah
selesai, siswa berada dalam lingkungan masyarakat dalam menjalankan kegiatan
dan aktivitasnya sebagai makhluk sosial. Untuk itu peran masyarakat dalam
memotivasi siswa dalam menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu sastra sangat
penting. Lingkungan keluarga misalnya, hendaknya orangtua juga memberikan
arahan dan menyediakan buku-buku atau karya sastra untuk anaknya dalam
menumbuhkan rasa kecintaanya terhadap sastra. Kemudian lingkungan teman
sepermainan juga berperan aktif dalam kegiatan keseharian siswa, untuk itu
sebagai orangtua hendaknya bisa memberikan serta mengarahkan anaknya pada
lingkungan yang baik dan tepat agar anak tidak terjebak dalam
kenakalan-kenakalan remaja saat ini.
Terakhir, dalam unsur yang terkait
itu adalah siswa. Siswa adalah objek yang menjadi sasaran dalam melestarikan
ilmu sastra dan untuk melahirkan generasi yang cinta terhadap ilmu sastra.
karena itu siswa harus mendapatkan pendidikan dan perhatian terhadap ilmu
sastra. Hendaknya siswa mendapatkan tugas dari gurunya untuk membaca karya
sastra, seperti novel misalnya, prosedurnya dapat dilaksanakan dengn, dalam
satu tahun siswa harus bisa menyelesaikan bacaan novelnya minimal 3 judul. Hal
ini memang dimulai dari diberikan tugas oleh gurunya, namun seiring berjalannya
waktu hal ini akan menjadi kebiasaan membaca karya sastra bagi siswa tanpa disuruh
oleh gurunya. Kalau kita lihat di Negara lain, berdasarkan kutipan dari
perkataan Sastrawan dan Budayawan Nasional Taufik Ismail, pada saat memberikan Seminar
pada hari Selasa tanggal 26 Agustus 2014 di Teater Tertutup Fakultas bahasa dan
Seni Universitas Negeri padang, mengatakan bahwa “berdasarkan hasil survenya,
Indonesia adalah Negara yang lemah dan sangat rendah sekali pengetahuannya di
bidang kesusastraan, hal ini dikarenakan tidak adanya penugasan mambaca karya
sastra di sekolahnya. Kalau kita melihat di Negara-negara lain seperti Amerika,
Jerman, Cina, Jepang, dan lain-lain, untuk pelajar tingkat SLTA, mereka
diwajibkan untuk menyelesaikan membaca 10-20 judul novel dalam studinya tiga
tahun di sekolah tersebut. Sedangkan di Indonesia tidak ada kewajiban membaca
novel terhadap siswanya.” Kalau kita lihat penugasan membaca karya sastra ini
memang sepintas terlihat spele, namun jika dikaji dan dianalisa secara dalam,
hal ini akan menjadi batu pijakan untuk meloncat pada kecintaan siswa terhadap
ilmu sastra. pada ujung muaranya nanti karena siswa dalam belajarnya sudah
banyak membaca teori dan karya-karya satra dari sastrawan terkenal, dalam
keterampilan berbahasa, seorang akan bias menulis jika ia banyak membaca. Jadi
secara langsung, sangat berkemungkinan besar seorang siswa nantinya akan bias
menghasilkan tulisan karya sastra.
Untuk itu, perlu adanya kerjasama
antara berbagai unsur dalam menumbuhkembangkan minat ilmu sastra dan
mempersiapkan generasi yang cinta dalam ilmu sastra, sehingga nantinya menjadi
sastrawan terkenal dalam cakupan nasional atau cakupan dunia internasional,
lewat tulisannya yang bagus. Apalagi untuk mahasiswa keguruan yang nantinya
menjadi pendidik, terlebih calon Guru Bahasa Indonesia hendaknya menerapkan
penugasan untuk anak didiknya membaca karya sastra misalnya novel, cerpen,
puisi dan lain-lain, minimal 1 tahun satu novel harus bisa diselesaikan
membaanya dan paham isi karya sastra tersebut. Ini adalah tugas berat kita
semua sebagai calon pendidik Bahasa Indonesia.
Kepustakaan
Syahril,
dkk. 2009. Profesi Kependidikan.
Padang: UNP Pres.
Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 74 Tahun 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar