Jumat, 31 Oktober 2014

Artikel Sastra: Menumbuhkan Minat Ilmu Kesusasteraan Oleh Jaya Nasa Perta



Perhatian terhadap ilmu sastra di sekolah khususnya di Indonesia memang belum terlalu diperhatikan. Hal ini terlihat dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah,  materi ilmu sastra sedikit sekali dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran. Kemudian dalam prakteknya yang sedikit itu, sangat sedikit sekali dibahas ilmu sastra oleh pendidiknya atau guru. Sehingga siswa dalam pengetahuan serta wawasannya tentang ilmu kesusasteraan sangat sedikit sekali. Secara sendirinya, tentu akibatnya minat dan kemauan siswa dalam mempelajari serta membaca karya sastra sangat rendah sekali.
Jika kita lihat akar permasalahannya, hal ini akan mengaitkan banyak unsur. Dimulai dari unsur pemeritah, tenaga pendidik atau guru, sarana dan prasarana, masyarakat sekitar, dan siswa. Unsur-unsur di ataslah yang bertanggungjawab dalam peningkatan wawasan ilmu kesusasteraan dan menumbuhkembangkan minat membaca serta mempelajari karya-karya sastra. Dalam upaya peningkatannyapun tidak ada salah satu unsur yang harus disalahkan, karena kesalahan dalam satu unsur dikarenakan unsur yang lain tidak mendukung, secara garis besar ke lima unsur tersebut memiliki hubungan yang sangat erat.
Jika dilihat dari unsur pemerintah, pemerintah adalah lembaga yang berwenang dalam penyediaan pembuatan kurikulum pembelajaran, pengadaan tenaga pendidik, dan penyedian sarana dan prasarana yang menunjang. Oleh karena itu peran aktif dan dukungan dari pihak pemerintah sangat membantu sekali dalam melahirkan generasi penerus bangsa yang memilki wawasan ilmu kesusasteraan yang tinggi dan minat baca tulis karya sastra yang hebat. Setidaknya ada bebarapa hal yang menjadi tugas pemerintah dalam masalah ini. Pertama, sedikitnya jam pelajaran ilmu kesusasteraan. Kedua, tenaga pendidik atau guru kurang berkompeten dalam penguasaan ilmu kesusasteraan. Ketiga, kurang tersedianya buku-buku ilmu kesusateraan dan kurangnya karya-karya sastra, seperti novel, cerpen, drama, puisi, dan lain sebagainya.
Kemudian jika kita lihat dari unsur tenaga pendidik atau guru, menurut  PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2008 TENTANG GURU, pasal 1 guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam PP No 74 tahun 2008 tentang guru tersebut, jelas sekali banhwa tugas seorang guru sebagai tenaga pendidik tersebut sangat berat sekali. Banyaknya guru yang kurang berkompeten dalam penguasaan materi pelajaran ilmu sastra, hal ini dikarenakan kurangnya minat baca tulis guru dalam pelajaran ilmu sastra. Sehingga akibatnya ketika gurunya mengalami kesulitan dalam penyampaian pelajaran ilmu sastra. Jalan keluar yang diambil oleh seorang guru tersebut, untuk menutupi kelemahannya itu guru mengajar ilmu sastra seadanya, dan tidak dijelaskannya secara mendalam. Kalau kita lihat, banyak hal yang harus dipersiapkan oleh seorang guru jika hendak memposisikan dirinya menjadi seorang guru yang professional. Menurut Depdikbud (dalam Syahril, dkk. 2009, 17-18), mengatakan ada tiga dimensi kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, (1) kemampuan professional, meliputi penguasaan materi pelajaran, landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan, dan penguasan proses kependidikan, dan pembelajaran siswa. (2) kemampuan sosial yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan sekitar. (3) kemampuan personala, yang mencakup penampilan sikap yang positif sebagai seorang guru, pemahaman dan penampilan nilai-nilai yang seyogyanya dimilki oleh seorang guru, dan penampilan upaya untuk menjadikan dirinya sebagai panutan dan teladan bagi para siswanya. Dalam hal seorang guru untuk meningkatkan kualitas dan profesionalnya dalam menyandang tugas dan beban sebagai seorang guru, guru harus aktif dalam mencari informasi dalam menambah wawasan serta pengetahuannya potensialnya,  banyak membaca dan belajar dalam mempertajam bidang ilmu yang digelutinya. Kemudian harus sering mengikuti seminar, work shop, tranning, pelatihan, dll menyangkut bidang ilmu yang digelutinya.
            Selanjutnya adalah unsur sarana dan prasarana, keberadaan sarasa dan prasarana merupakan sesuatu hal yang penting dalam penunjang pendalaman pembelajaran ilmu sastra. Sarana dan prasarana tersebut sebagai media pembelajaran sastra berupa buku-buku ilmiah yang berhubungan dengan sastra, karya sastra seperti naskah drama, novel, cerpen, puisi dan karya satra lainnya. Keberadaan media pembelajaran tersebut akan mempermudah siswa dalam menumbuhkembangkan minat dan kecintaannya terhadap sastra. Kemudian akan berdampak postif juga bagi guru dalam membelajarkan ilmu sastra kepada siswanya di samping itu guru juga mudah memperdalam pengetahuan dan wawasan ilmu sastranya dengan adanya media tersebut.
            Keberadaan masyarakat sebagai unsur yang terkait dalam rangka menumbuhkembangkan minat ilmu kesusasteraan bagi siswa juga berperan aktif. Hal ini terlihat masyarakat adalah lingkungan sosial siswa yang banyak menghabiskan waktunya sehari-hari. Setelah jam sekolah selesai, siswa berada dalam lingkungan masyarakat dalam menjalankan kegiatan dan aktivitasnya sebagai makhluk sosial. Untuk itu peran masyarakat dalam memotivasi siswa dalam menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu sastra sangat penting. Lingkungan keluarga misalnya, hendaknya orangtua juga memberikan arahan dan menyediakan buku-buku atau karya sastra untuk anaknya dalam menumbuhkan rasa kecintaanya terhadap sastra. Kemudian lingkungan teman sepermainan juga berperan aktif dalam kegiatan keseharian siswa, untuk itu sebagai orangtua hendaknya bisa memberikan serta mengarahkan anaknya pada lingkungan yang baik dan tepat agar anak tidak terjebak dalam kenakalan-kenakalan remaja saat ini.
            Terakhir, dalam unsur yang terkait itu adalah siswa. Siswa adalah objek yang menjadi sasaran dalam melestarikan ilmu sastra dan untuk melahirkan generasi yang cinta terhadap ilmu sastra. karena itu siswa harus mendapatkan pendidikan dan perhatian terhadap ilmu sastra. Hendaknya siswa mendapatkan tugas dari gurunya untuk membaca karya sastra, seperti novel misalnya, prosedurnya dapat dilaksanakan dengn, dalam satu tahun siswa harus bisa menyelesaikan bacaan novelnya minimal 3 judul. Hal ini memang dimulai dari diberikan tugas oleh gurunya, namun seiring berjalannya waktu hal ini akan menjadi kebiasaan membaca karya sastra bagi siswa tanpa disuruh oleh gurunya. Kalau kita lihat di Negara lain, berdasarkan kutipan dari perkataan Sastrawan dan Budayawan Nasional Taufik Ismail, pada saat memberikan Seminar pada hari Selasa tanggal 26 Agustus 2014 di Teater Tertutup Fakultas bahasa dan Seni Universitas Negeri padang, mengatakan bahwa “berdasarkan hasil survenya, Indonesia adalah Negara yang lemah dan sangat rendah sekali pengetahuannya di bidang kesusastraan, hal ini dikarenakan tidak adanya penugasan mambaca karya sastra di sekolahnya. Kalau kita melihat di Negara-negara lain seperti Amerika, Jerman, Cina, Jepang, dan lain-lain, untuk pelajar tingkat SLTA, mereka diwajibkan untuk menyelesaikan membaca 10-20 judul novel dalam studinya tiga tahun di sekolah tersebut. Sedangkan di Indonesia tidak ada kewajiban membaca novel terhadap siswanya.” Kalau kita lihat penugasan membaca karya sastra ini memang sepintas terlihat spele, namun jika dikaji dan dianalisa secara dalam, hal ini akan menjadi batu pijakan untuk meloncat pada kecintaan siswa terhadap ilmu sastra. pada ujung muaranya nanti karena siswa dalam belajarnya sudah banyak membaca teori dan karya-karya satra dari sastrawan terkenal, dalam keterampilan berbahasa, seorang akan bias menulis jika ia banyak membaca. Jadi secara langsung, sangat berkemungkinan besar seorang siswa nantinya akan bias menghasilkan tulisan karya sastra.
            Untuk itu, perlu adanya kerjasama antara berbagai unsur dalam menumbuhkembangkan minat ilmu sastra dan mempersiapkan generasi yang cinta dalam ilmu sastra, sehingga nantinya menjadi sastrawan terkenal dalam cakupan nasional atau cakupan dunia internasional, lewat tulisannya yang bagus. Apalagi untuk mahasiswa keguruan yang nantinya menjadi pendidik, terlebih calon Guru Bahasa Indonesia hendaknya menerapkan penugasan untuk anak didiknya membaca karya sastra misalnya novel, cerpen, puisi dan lain-lain, minimal 1 tahun satu novel harus bisa diselesaikan membaanya dan paham isi karya sastra tersebut. Ini adalah tugas berat kita semua sebagai calon pendidik Bahasa Indonesia.



Kepustakaan
Syahril, dkk. 2009. Profesi Kependidikan. Padang: UNP Pres.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar